Ketika Hujan Tak Sanggup Membasahiku

  Guyuran air hujan jatuh tak henti-hentinya membasahi bumi. Air hujan yang jatuh di atap asbes mengalir turun berbaris rapi jatuh dideretan pot bunga yang diatur dengan rapi oleh ibu. Deretan tanaman itu seakan-akan sedang berpesta pora bermain air terjun seperti anak-anak yang bermain sepak bola di lapangan. Pekarangan yang luas yang juga dilengkapi pohon buah dan apotik hidup. Daunnya berkilat ketika menangkap air hujan, air  yang mengalir dibatang pohon membuat  mata yang melihatnya menari salsa. Setiap kali hujan turun dimanapun aku berada, semua kenangan masa kecilku selalu muncul bersama sosok ibuku. 

    Sosok ibukulah yang membuat suasana di dalam rumah seperti tinggal di istana. Kursi tamu, bingkai-bingkai foto, keramik koleksi ayah, semuanya terawat dengan baik, bersih seakan bercahaya. Semilir angin yang sejuk membawa aroma mawar di pekarangan masuk kedalam rumah membuatku seakan berada di taman bunga. Lantainya bahkan bisa membuatku bercermin, padahal ini cuma lantai keramik murahan. Ditambah duduk di kursi goyang yang dibuat ayah, ah rasanya semua beban terlepas ketika kursi itu mulai bergoyang. 

    Ibuku seorang wanita yang perkasa yang kokoh seperti karang yang tak hancur dihantam ombak. Yang selalu berhasil menyembunyikan rasa lelah dengan senyumnya. Binar matanya yang bercahaya seakan menenggelamkan semua problema hidup yang menimpanya. Dekapan hangatnya  yang telah menuntunku menjadi seorang pria dewasa. Setelah ayah wafat ibu membuat kue dan aku yang menjajakannya keliling kampung. Bimbingan dan semangatnya yang membuatku sanggup menanggung beban mengambil tanggung jawab ayah untuk kehidupan kami dan menyelesaikan sekolah adik-adikku sampai sarjana. Tentu saja sampai sekarangpun aku merindukan dekapan hangatnya,  didalam pelukannya semua masalah dan persoalan hidupku seakan luntur tak tersisa. Namun pagi ini hujan yang turun dengan lebatnya membuat hatiku terguncang seperti terkena gempa. 

   Sebuah panggilan telpon dari adikku memaksaku menerobos kepungan hujan dengan berkendara motor. "Bang, Ibu kritis, sekarang ada di rumah sakit, Abang segera datang!" Itulah kalimat yang kudengar dari adikku shubuh tadi. Aku terus memacu sepeda motorku tanpa memperdulikan lebatnya hujan. Satu kalimat yang ada di kepalaku adalah aku harus bisa bertemu ibu. Apalagi sewaktu Idul Fitri kemarin kami sekeluarga tidak bisa mudik menemui ibu akibat pandemi covid 19. Menjelang Ashar aku tiba di perbatasan Kotaku. 

   Untuk melewati pos PSBB aku harus memutar menyebrangi sungai dengan jembatan kayu diatasnya untuk mencapai kampungku. Terlihat jembatan kayu  itu sangat licin ditambah hujan yang terus menyertai perjalananku dari Jakarta  tak juga reda. "PSBB sialan! Kalau saja tidak situasi darurat begini pasti sudah kuurus dokumen kesehatan tanpa harus melewati jembatan rusak ini!" Aku merutuk dalam hati. Kupacu perlahan sepeda motorku meniti jembatan kayu, namun naas  jembatan yang licin membuatku hilang keseimbangan dan terjatuh ke sungai. Aku yang sedang timbul tenggelam terbawa arus sungai mencoba bertahan, wajah ibuku yang membuatku terus berjuang melawan arus  dan berhasil mencapai tepi sungai. Tenagaku terkuras, kurasakan darah mengalir dari pelipis dan kaki kananku. Aku hanya bisa bersandar di pinggir sungai. 

    Ketika terbangun aku sudah berada di ruang kamar sebuah Puskesmas. Ternyata beberapa warga menolongku dan langsung membawaku kesini. Kurasakan balutan perban dikepala dan kakiku. Aku beranjak dari tempat tidur untuk pergi melanjutkan perjalananku, tentu saja dokter melarangku pergi mengingat kondisiku yang penuh dengan jahitan. Namun aku berkeras dan memohon kepada dokter yang merawatku untuk pergi menemui ibuku. 

   Akhirnya dengan bantuan seorang tukang ojek aku bisa sampai di rumah sakit tempat ibuku dirawat. Tak kuperdulikan darah yang terasa mengalir keluar dari kakiku. Aku berlari masuk menghambur kamar ibu. Ibuku sangat terkejut seperti disengat aliran listrik ketika melihatku datang dengan kepala penuh perban dan perban di kakiku yang sudah berwarna merah. Aku menceritakan semua perjuanganku untuk bisa  bertemu beliau saat ini. Ia mendengarkan sambil mengelus-elus tanganku. Sorot matanya memandangku terus-menerus seperti saat ia memandangku saat aku wisuda sarjana dulu. Senyumnya merekah seperti bunga di halamannya. Sebelum ia sempat berkata apa-apa, tiba-tiba aku merasa kepalaku kembali berputar-putar seperti gasing, pandangan mataku tiba tiba buram, kepalaku terjatuh lunglai di pembaringan ibu.
 
    Ibuku masih tersenyum seperti yang terakhir aku lihat. Namun kali ini senyumnya abadi. "Ibu hanya menunggu Abang, ibu mengucapkan salam terima kasih buat abang sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya." Kalimat itulah yang kudengar dari adikku ketika aku sedang terpaku menatap jasad ibuku yang terbujur kaku masih dengan perban yang melilit di kepalaku. Aku bersikeras mengantar ibuku ke peristirahatan terakhirnya, meskipun adik-adikku mencoba mencegah. 

   Tak ada lagi ibu yang bisa ku hubungi pada malam hari saat aku ingin menumpahkan segala sampah di otakku. Tak ada lagi pindang  bandeng yang membuat lidahku berdecak dan rawon dengan aroma biji kluwak yang menusuk hidung menggugah selera makan. Entah bagaimana nasib bunga-bunga dan tanaman di halaman setelah kehilangan majikan kesayangannya. Lamunanku buyar ketika sentuhan hangat mengajakku pulang. Aku masih berdiri mematung. Aroma bunga kamboja masuk bersama air hujan menusuk hidungku. Hujan dan air mataku jatuh bercampur menjadi satu di pusara ibu. 

"Cerita ini sudah di bukukan dengan judul Antologi KMCO41, penerbit : WrAcademy"

Komentar