Laut dan pantai seperti
mendeskripsikan siapa dirimu. Pembawaan laut yang tenang namun menyimpan
gejolak yang dahsyat. Aku tak kuasa berfikir untuk mendapatkanmu walaupun di
kelas kita duduk bedekatan, kita saling bercanda dan tertawa bareng, namun aku
tak pernah berani mengungkapkan perasaanku padamu.
"Kenapa sih tidak lu tembak saja dia?" Ujar
Nia, salah satu sahabatku. Nia yang selalu menjadi teman curhatku kapan saja,
dimana saja, entah saat kami mendaki gunung, latihan panjat tebing, atau cuma
sekedar nongkrong di sanggar sehabis sekolah.
"Modal gue apa? gue hanya naik sepeda ke sekolah,
kau lihat mobil apa yang dipakainya tiap hari ke sekolah?" Aku
bertanya dengan gusar.
Dasar bodoh! lu
itu ganteng, badan lu bagus, lu kagak sadar kalau setiap kali lu main basket
telanjang dada, cewek- cewek di sini diam-diam curi pandang ke lu?"
"Ah, cuma lu yang ngomong gitu, enggak ada tuh
cewek yang ngomong gitu sama gue."
"Emang dasar bodoh, mana ada cewek yang ngomong
begitu duluan sama cowok? lu tembak dia, lu ajak ngedate, entar gue yang
modalin."
"Terima kasih, tidak perlu Nia, lu sudah banyak
bantu gue."
"Siapa bilang ini pinjaman cuma-cuma?" Nia
tertawa sekencang - kencangnya, kalau lu ditolak sama Shinta, duit gue kagak
usah lu pulangin, tapi kalau lu sukses, lu pulangin duit gue dua kali lipat,
oke?" Nia tertawa lebar tapi kemudian matanya memandangku dengan melotot.
Hari-hari selanjutnya menjadi sebuah
siksaan bagiku setiap kali berada di kelas bersama Shinta, wangi parfum mahalnya
yang menggoda membuatku mabuk kepayang, rambut kuncir kudanya seperti ombak
yang menghantam dadaku membuatnya bergemuruh. Bercanda dan tertawa bersamanya
membuat hari-hari yang kulalui di sekolah begitu berwarna. Ternyata Nia benar,
setelah aku mematut diri dicermin, ternyata hasil latihan kerasku selama ini di
organisasi pencinta alam membuat badanku tegap berisi, dada bidang bersayap,
perut kotak-kotak. Aku sudah mulai memikirkin tawaran Nia dalam beberapa hari
terakhir ini, wajah Shinta selalu mengusik malam-malam panjangku.
"Lu sudah ajak
Shinta ngedate? " Tiba-tiba Nia mendatangiku yang sedang melamun di
kantin.
"Belum, gue masih cari waktu yang pas." Aku
beralasan, menutupi keraguanku.
"Nanti kelamaan diserobot orang tuh, barang bagus
banyak peminat, ayolah apa ruginya buat lu coba, dunia enggak bakal kiamat
kalaupun dia tolak cinta lu. Daripada lu kaya ayam kena tetelo begini, bengong
kaya orang bego sepanjang hari." Nia tersenyum nyengir sambil menyeruput
es teh manisnya. Aku baru menyadari sosok Nia yang tomboi namun punya senyum
yang manis, selalu bersemangat dan melakoni hidup seolah tak punya beban
apa-apa, dia juga sangat perduli dengan masalah
orang-orang di sekitarnya.
"Okelah, nanti selesai ujian nasional ini gue
ajak Shinta, taruhan lu masih berlaku kan?"
Nia menjulurkan tangan tanpa berkata apa-apa sambil
memperlihatkan deretan gigi-giginya yang putih.
Malam minggu setelah ujian nasional,
aku mengajak Shinta pergi ke salah satu restoran terbaik, tempat dimana aku
mengutarakan rasa cintaku padanya. Anehnya semua yang di katakan Nia benar,
ternyata Shinta memang menungguku. Shinta bercerita bagaimana teman-teman cewek
dikelas bertaruh siapa yang akan mendapat cintaku duluan. Begitulah cerita seru
Shinta saat itu, sesuatu yang terdengar aneh buatku, mungkin karena mereka tidak
mengenal bagaimana kehidupanku selama ini. Kecuali Nia.
Malam itu berakhir dengan bahagia,
aku sampai tidak bisa tidur memikirkannya, aku langsung menelpon Nia dari
telepon umum dekat rumahku. Nia menggoda dan meledekku habis-habisan. Entah
berapa banyak koin yang kuhabiskan, kami berbicara sampai larut malam. Pagi itu
aku terlambat bangun, tidak sempat lagi mengantar koran kepada langgananku. Hal
rutin yang kulakukan sejak masih duduk di sekolah dasar. Menjadi loper koran untuk biaya sekolahku,
membiayai hobiku mendaki gunung dan memanjat tebing. Aku bergegas berangkat
kesekolah setelah mencium tangan ayahku yang terbujur sakit di kamarnya. Tak
kuperdulikan ibu tiriku yang menatapku dari ujung kamar. Tak mungkin mengharap orang
tuaku membiayai kuliah, nilaiku tak cukup bagus untuk mendapat beasiswa. Satu-satunya harapanku mencapai cita-cita adalah
aku harus bekerja setamat SMA ini. Entah bagaimana reaksi Shinta seandainya dia
tahu kehidupanku dan bagaimana hubungan kami selanjutnya. Lamunanku buyar saat sepedaku
sampai di gerbang sekolah.
Begitulah kehidupan yang berjalan
setelah kami tamat SMA. Aku harus bekerja di salah satu pabrik di Bekasi dan
menunggu setahun agar tabunganku cukup untuk kuliah di Universitas antah berantah.
Shinta langsung masuk Universitas swasta elit di Jakarta, Nia yang cerdas
berhasil masuk ke Universitas Negeri Di Jakarta. Rumah Shinta yang mewah dan sambutan dingin kedua orang
tuanya, menyambutku setiap malam minggu hanya untuk sekedar ngobrol berdua di
sana atau berjalan-jalan sekitar Jakarta. Hubungan kami putus sambung, selalu
terjadi konflik karena memang segala sesuatunya hampir semua berbeda. Perbedaan
jurang ekonomi, life style, selera , hobby, watak dan karakter menjadi sebab
konflik tak pernah selesai. Shinta wanita yang keras egonya, mungkin karena dia
anak perempuan satu-satunya di rumah. Itulah hal yang membuatku harus banyak
bersabar dan mengalah. Nia yang selalu setia mendengarkan keluh kesahku dan
selalu mendorongku untuk terus mempertahankan hubunganku dengan Shinta. Bahkan
Nia berperan aktif mendamaikan kami ketika hubungan kami bertambah runyam.
Bunyi dering ponsel membuyarkan
lamunanku. Aku terperanjat ketika membaca pesan yang masuk, kubangunkan istriku
yang sedang tidur pulas di ranjang kamar kami.
"Mah, Shinta meninggal dunia malam ini, operasi
kanker hatinya gagal."
Nia langsung terlonjak bangun,
matanya memandangku seolah tak percaya, lalu ia merangkulku, menyandarkan
kepalanya dibahuku " Kita langsung melayat ke rumah sakit malam ini atau
bagaimana?"
"Sudah terlalu malam, tidurlah, besok pagi kita
melayat ke rumahnya saja."
Nia menempelkan bibirnya ke keningku begitu
lama sambil tetap merangkulku, lalu ia merebahkan diri. Aku terus memandangnya
dan Nia membalas pandanganku sambil menarik sedikit garis bibirnya memberi
isyarat ia mengerti apa yang sedang kupikirkan dan kurasakan. Yah, pada
akhirnya aku memilih Nia yang menjadi pendamping hidupku. Di waktu yang kritis
dimana aku harus menetapkan siapa yang akan menjadi pendamping hidupku aku
memilih Nia, bukan Shinta cinta pertamaku. Terlalu banyak perbedaan diantara kami.
Aku dan Shinta sepakat bahwa cinta kami tak cukup kuat untuk menciptakan rumah
tangga yang harmonis dan status sahabat jauh lebih pantas untuk kami. Selama ini aku telah mengabaikan cinta
seorang gadis yang selama ini tulus mencintaiku, menerimaku apa adanya, yang
tetap mendukungku disaat aku jatuh, tetap setia menunggu cintaku selama aku
dibutakan cinta semu dengan gadis lain.
Masih ku ingat
dengan jelas perkataannya ketika aku menyatakan cintaku pada Nia.
"Jadi, butuh waktu enam tahun baru lu sadar?
Dasar lu cowok enggak sensitif! Memangnya lu terlahir dari batu?" Dia berkata
dengan keras memekakkan telingaku, namun wajahnya bercahaya, tatapan matanya
berbinar- binar seperti permata. Itulah wanita yang sekarang tidur terlelap
disampingku, yang telah memberikan kebahagian kepadaku selama ini.
Cerpen inn sudah di lombakan di LMCR 2020, mendapat nilai 84/100
BalasHapus