Cinta Mati Sahabat Sejati


        Hari ini dua puluh tahun yang lalu, aku  masih memandang foto ini sambil duduk di meja kerjaku. Foto yang di ambil saat sekolah kita melakukan karya wisata di  Pantai Selatan.  Foto ini selalu mengingatkanku tentang kamu. Bibirmu bagai bunga yang merekah langsung terhias disana ketika kakimu menyentuh butiran pasir yang membelai bagai sutra. Wajahmu terpancar rona gembira laksana bocah mendapat es krim kesukaannya. Tak tunggu lama engkau langsung berganti pakaian dan berlari ke arah pantai, deburan ombak yang menghampirimu membuatmu menjerit-jerit senang. Itulah saat dimana aku memandangmu berbeda dari yang biasanya, kali ini dengan hati yang berdegup kencang seakan tak ingin melepasmu dari pandangan mataku.

Laut dan pantai seperti mendeskripsikan siapa dirimu. Pembawaan laut yang tenang namun menyimpan gejolak yang dahsyat. Aku tak kuasa berfikir untuk mendapatkanmu walaupun di kelas kita duduk bedekatan, kita saling bercanda dan tertawa bareng, namun aku tak pernah berani mengungkapkan perasaanku padamu.

"Kenapa sih tidak lu tembak saja dia?" Ujar Nia, salah satu sahabatku. Nia yang selalu menjadi teman curhatku kapan saja, dimana saja, entah saat kami mendaki gunung, latihan panjat tebing, atau cuma sekedar nongkrong di sanggar sehabis sekolah.

"Modal gue apa? gue hanya naik sepeda ke sekolah, kau lihat mobil apa yang dipakainya tiap hari ke sekolah?" Aku bertanya  dengan gusar.

 Dasar bodoh! lu itu ganteng, badan lu bagus, lu kagak sadar kalau setiap kali lu main basket telanjang dada, cewek- cewek di sini diam-diam curi pandang ke lu?"

"Ah, cuma lu yang ngomong gitu, enggak ada tuh cewek yang ngomong gitu sama gue."

"Emang dasar bodoh, mana ada cewek yang ngomong begitu duluan sama cowok? lu tembak dia, lu ajak ngedate, entar gue yang modalin."

"Terima kasih, tidak perlu Nia, lu sudah banyak bantu gue."

"Siapa bilang ini pinjaman cuma-cuma?" Nia tertawa sekencang - kencangnya, kalau lu ditolak sama Shinta, duit gue kagak usah lu pulangin, tapi kalau lu sukses, lu pulangin duit gue dua kali lipat, oke?" Nia tertawa lebar tapi kemudian matanya memandangku dengan melotot.

Hari-hari selanjutnya menjadi sebuah siksaan bagiku setiap kali berada di kelas bersama Shinta, wangi parfum mahalnya yang menggoda membuatku mabuk kepayang, rambut kuncir kudanya seperti ombak yang menghantam dadaku membuatnya bergemuruh. Bercanda dan tertawa bersamanya membuat hari-hari yang kulalui di sekolah begitu berwarna. Ternyata Nia benar, setelah aku mematut diri dicermin, ternyata hasil latihan kerasku selama ini di organisasi pencinta alam membuat badanku tegap berisi, dada bidang bersayap, perut kotak-kotak. Aku sudah mulai memikirkin tawaran Nia dalam beberapa hari terakhir ini, wajah Shinta selalu mengusik malam-malam panjangku.

 "Lu sudah ajak Shinta ngedate? " Tiba-tiba Nia mendatangiku yang sedang melamun di kantin.

"Belum, gue masih cari waktu yang pas." Aku beralasan, menutupi keraguanku.

"Nanti kelamaan diserobot orang tuh, barang bagus banyak peminat, ayolah apa ruginya buat lu coba, dunia enggak bakal kiamat kalaupun dia tolak cinta lu. Daripada lu kaya ayam kena tetelo begini, bengong kaya orang bego sepanjang hari." Nia tersenyum nyengir sambil menyeruput es teh manisnya. Aku baru menyadari sosok Nia yang tomboi namun punya senyum yang manis, selalu bersemangat dan melakoni hidup seolah tak punya beban apa-apa,  dia juga sangat perduli dengan masalah orang-orang di sekitarnya.

"Okelah, nanti selesai ujian nasional ini gue ajak Shinta, taruhan lu masih berlaku kan?"

Nia menjulurkan tangan tanpa berkata apa-apa sambil memperlihatkan deretan gigi-giginya yang putih.

Malam minggu setelah ujian nasional, aku mengajak Shinta pergi ke salah satu restoran terbaik, tempat dimana aku mengutarakan rasa cintaku padanya. Anehnya semua yang di katakan Nia benar, ternyata Shinta memang menungguku. Shinta bercerita bagaimana teman-teman cewek dikelas bertaruh siapa yang akan mendapat cintaku duluan. Begitulah cerita seru Shinta saat itu, sesuatu yang terdengar aneh buatku, mungkin karena mereka tidak mengenal bagaimana kehidupanku selama ini. Kecuali Nia.

Malam itu berakhir dengan bahagia, aku sampai tidak bisa tidur memikirkannya, aku langsung menelpon Nia dari telepon umum dekat rumahku. Nia menggoda dan meledekku habis-habisan. Entah berapa banyak koin yang kuhabiskan, kami berbicara sampai larut malam. Pagi itu aku terlambat bangun, tidak sempat lagi mengantar koran kepada langgananku. Hal rutin yang kulakukan sejak masih duduk di sekolah dasar.  Menjadi loper koran untuk biaya sekolahku, membiayai hobiku mendaki gunung dan memanjat tebing. Aku bergegas berangkat kesekolah setelah mencium tangan ayahku yang terbujur sakit di kamarnya. Tak kuperdulikan ibu tiriku yang menatapku dari ujung kamar. Tak mungkin mengharap orang tuaku membiayai kuliah, nilaiku tak cukup bagus untuk mendapat beasiswa.  Satu-satunya harapanku mencapai cita-cita adalah aku harus bekerja setamat SMA ini. Entah bagaimana reaksi Shinta seandainya dia tahu kehidupanku dan bagaimana hubungan kami selanjutnya. Lamunanku buyar saat sepedaku sampai di gerbang sekolah.

Begitulah kehidupan yang berjalan setelah kami tamat SMA. Aku harus bekerja di salah satu pabrik di Bekasi dan menunggu setahun agar tabunganku cukup untuk kuliah di Universitas antah berantah. Shinta langsung masuk Universitas swasta elit di Jakarta, Nia yang cerdas berhasil masuk ke Universitas Negeri Di Jakarta. Rumah Shinta  yang mewah dan sambutan dingin kedua orang tuanya, menyambutku setiap malam minggu hanya untuk sekedar ngobrol berdua di sana atau berjalan-jalan sekitar Jakarta. Hubungan kami putus sambung, selalu terjadi konflik karena memang segala sesuatunya hampir semua berbeda. Perbedaan jurang ekonomi, life style, selera , hobby, watak dan karakter menjadi sebab konflik tak pernah selesai. Shinta wanita yang keras egonya, mungkin karena dia anak perempuan satu-satunya di rumah. Itulah hal yang membuatku harus banyak bersabar dan mengalah. Nia yang selalu setia mendengarkan keluh kesahku dan selalu mendorongku untuk terus mempertahankan hubunganku dengan Shinta. Bahkan Nia berperan aktif mendamaikan kami ketika hubungan kami bertambah runyam.

            Bunyi dering ponsel membuyarkan lamunanku. Aku terperanjat ketika membaca pesan yang masuk, kubangunkan istriku yang sedang tidur pulas di ranjang kamar kami.

"Mah, Shinta meninggal dunia malam ini, operasi kanker hatinya gagal."

Nia langsung terlonjak bangun, matanya memandangku seolah tak percaya, lalu ia merangkulku, menyandarkan kepalanya dibahuku " Kita langsung melayat ke rumah sakit malam ini atau bagaimana?"

"Sudah terlalu malam, tidurlah, besok pagi kita melayat ke rumahnya saja."

Nia menempelkan bibirnya ke keningku begitu lama sambil tetap merangkulku, lalu ia merebahkan diri. Aku terus memandangnya dan Nia membalas pandanganku sambil menarik sedikit garis bibirnya memberi isyarat ia mengerti apa yang sedang kupikirkan dan kurasakan. Yah, pada akhirnya aku memilih Nia yang menjadi pendamping hidupku. Di waktu yang kritis dimana aku harus menetapkan siapa yang akan menjadi pendamping hidupku aku memilih Nia, bukan Shinta cinta pertamaku. Terlalu banyak perbedaan diantara kami. Aku dan Shinta sepakat bahwa cinta kami tak cukup kuat untuk menciptakan rumah tangga yang harmonis dan status sahabat jauh lebih pantas untuk kami.  Selama ini aku telah mengabaikan cinta seorang gadis yang selama ini tulus mencintaiku, menerimaku apa adanya, yang tetap mendukungku disaat aku jatuh, tetap setia menunggu cintaku selama aku dibutakan cinta semu dengan gadis lain.

  Masih ku ingat dengan jelas perkataannya ketika aku menyatakan cintaku pada Nia.

"Jadi, butuh waktu enam tahun baru lu sadar? Dasar lu cowok enggak sensitif! Memangnya lu terlahir dari batu?" Dia berkata dengan keras memekakkan telingaku, namun wajahnya bercahaya, tatapan matanya berbinar- binar seperti permata. Itulah wanita yang sekarang tidur terlelap disampingku, yang telah memberikan kebahagian kepadaku selama ini.

Ku ambil ponselku dan menulis pesan pribadi ke ponsel Shinta, "Terima kasih Shinta, cintamu telah menjadi inspirasi buatku menghadapi kerasnya kehidupan. Terima kasih juga atas kesediaanmu menjadi sahabat terbaik aku dan Nia sampai akhir hayatmu. Selamat jalan, cintamu selalu abadi di hati kami.

Komentar

  1. Cerpen inn sudah di lombakan di LMCR 2020, mendapat nilai 84/100

    BalasHapus

Posting Komentar